Penilaian Umum dalam Penerjemahan
Disusun
oleh :
Mutiara
Pratama Putri
1500026038
Kelas
B
Dosen
Pengampu :
DR.
Kardimin, M.Hum
Sastra
Inggris
Fakultas
Sastra Budaya dan Komunikasi
Universitas
Ahmad Dahlan
Yogyakarta
2016
---
Kata Pengantar
Puji
dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala rahmat yang
diberikan-Nya sehingga tugas makalah yang berjudul “Penilaian Umum dalam
Penerjemahan” ini dapat saya selesaikan. Makalah ini saya buat sebagai
kewajiban untuk memenuhi tugas.
Dalam
kesempatan ini, penulis mengucapkan terimakasih yang dalam kepada semua pihak
yang telah membantu menyumbangkan ide dan pikiran mereka demi terwujudnya
makalah ini. penulis menyadari bahwa
makalah ini belum sempurna, oleh karena itu saran dan kritik yang membangun
dari rekan-rekan pembaca sangat dibutuhkan untuk penyempurnaan makalah ini.
Yogyakarta, 30 Desember 2016
Mutiara Pratama Putri
Mutiara Pratama Putri
Daftar Isi
Halaman judul
..........................................................................................................................
1
Kata pengantar
..........................................................................................................................
2
Daftar Isi
...................................................................................................................................
3
Bab 1 : Pendahuluan
.............................................................................................................
4-5
1.1. Latar
Belakang
........................................................................................................
4-5
1.2. Rumusan
.....................................................................................................................
5
1.3. Tujuan
........................................................................................................................
5
Bab 2 : Pembahasan
............................................................................................................
6-10
2.1. Segi-segi
yang perlu diperhatikan dalam penilaian umum di penerjemahan .......... 6-8
2.2. Kriteria
penilaian umum yang digunakan dalam penerjemahan .............................
8-9
2.3. Bagaimana
cara menilai suatu terjemahan secara umum
....................................... 9-10
Bab 3 : Penutup
......................................................................................................................
11
3.1.
Kesimpulan ...............................................................................................................
11
3.2.
Saran
.........................................................................................................................
11
Daftar Pustaka
........................................................................................................................
12
Curriculum Vitae
....................................................................................................................
13
Bab 1 : Pendahuluan
1.1. Latar
Belakang
Menilai mutu terjemahan berarti mengkritik karya
terjemahan. Mengkritik karya terjemahan tergolong tugas yang sangat sulit
karena dibutuhkan kemampuan yang luar biasa dalam melakukannya. Seorang
kritikus karya terjemahan tidak sama dengan seorang wartawan olahraga. Wartawan
olahraga dapat secara baik mengulas atau mengevaluasi kemampuan seorang pemain
sepak bola yang sedang bermain di tengah lapangan meskipun dia tidak bisa
memainkan bola tersebut dengan baik.
Untuk menjadi seorang kritikus karya terjemahan,
seseorang harus memenuhi kriteria tertentu. Menurut Schutle (1998 : 1),
kritikus karya terjemahan harus menguasai bahasa sumber dan bahasa sasaran
dengan baik, mengetahui perbedaan persepsi linguistik bahasa sumber dan bahasa
sasaran, serta akrab dengan konteks estetika dan budaya bahasa sumber dan
bahasa sasaran. Tentu dia pun harus memiliki pengetahuan yang memadai akan
materi terjemahan yang dikritiknya. Hanya dengan memiliki kriteria-kriteria itu
dia dapat mengomentari atau mengevaluasi suatu terjemahan dengan baik.
Karya terjemahan kadang kala tampak baik tetapi
setelah dibaca dan dibandingkan dengan karya asli barulah diketahui bahwa di
dalamnya terdapat banyak kesalahan. Tidak cukup hanya dengan melihat bagian
terkecil dari suatu karya terjemahan dalam menemukan mutu terjemahan itu.
Seseorang dapat mengevaluasi karya terjemahan secara mantap dan menyeluruh.
Karena hasil kritiknya harus dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, dan hal
ini harus dilakukan secara objektif.
Penilaian terhadap suatu karya terjemahan bertujuan
untuk mengetahui kekuatan dan kelemahan terjemahan. Secara tidak langsung,
penilaian tersebut akan mengungkapkan kemampuan penerjemah. Terjemahan yang
baik tentunya adalah pertanda bahwa penerjemah mempunyai kemampuan yang baik.
Demikian pula sebaiknya, jika di dalam suatu karya terjemahan terdapat banyak
kesalahan baik dari pengalihan pesan maupun pengungkapannya dalam bahasa
sasaran, kita dapat menduga bahwa penerjemah tidak dapat atau berkemampuan
terbatas dalam melakukan tugasnya.
Penilaian dalam terjemahan akan menguntungkan tiga
pihak : penerjemah, penerbit, dan pembaca. Bagi penerjemah, hasil dari suatu
penilaian merupakan masukan yang sangat berharga sebagai acuan untuk
mengintrospeksi diri dan memperbaiki karya terjemahannya. Bagi penerbit,
penilaian dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan apakah suatu terjemahan
layak untuk diterbitkan dan disebarluaskan kepada masyarakat atau tidak. Para
pembaca juga akan mendapatkan manfaat dari penilaian tersebut. Uang yang telah
mereka sisihkan untuk membeli karya terjemahan tersebut tidak akan sia-sia jika
karya terjemahan yang mereka beli bermutu dan mudah dibaca.
Siapakah yang berhak menilai mutu suatu karya
terjemahan? Jawabnya adalah setiap orang berhak menilai mutu karya terjemahan
asalkan dia mempunyai kemampuan seperti yang telah disebutkan diatas.
Dalam makalah ini, penulis akan lebih memfokuskan
dan membahas hal-hal yang berkaitan dengan konsep penilaian umum dalam
terjemahan. Penilaian umum sendiri adalah penilaian yang diletakkan dalam
kerangka metode penerjemahan semantik dan komunikatif, yaitu dua metode umum
yang paling sering digunakan dalam penerjemahan (Newmark 1988).
1.2. Rumusan
Masalah
1. Apa
saja segi-segi yang perlu diperhatikan dalam penilaian umum di penerjemahkan?
2. Apa
saja kriteria penilaian umum yang digunakan dalam penerjemahan?
3. Bagaimana
cara menilai suatu terjemahan secara umum?
1.3. Tujuan
1. Untuk
mengetahui segi-segi yang perlu diperhatikan dalam penilaian umum di
penerjemahan.
2. Untuk
mengetahui kriteria penilaian umum yang digunakan dalam penerjemahan.
3. Untuk
mengetahui bagaimana cara menilai suatu terjemahan secara umum.
Bab 2 : Pembahasan
2.1. Segi-segi yang perlu diperhatikan dalam
penilaian umum di penerjemahan.
Ada beberapa segi dalam penerjemahan yang harus
dipertimbangkan dalam penilaiannya. Sebagai gambaran, mari kita bandingkan
beberapa versi teks berikut.
TSu
:
Some focal points of crises in the
present-day world are of a long-standing nature. (lanjutan, tetapi tidak diterjemahkan
di bawah : These conflicts which more often than not have regional causes are
aggravated by interfence, intervention and involvement of outside powers.)
TSa
(terjemahan otentik) :
(a) Beberapa
persoalan krisis penting yang ditemukan di dunia saat ini sudah bersifat
kronis.
(b) Beberapa
persoalan krisis utama di dunia pada saat ini sebetulnya merupakan masalah
lama.
(c) Beberapa
hal penting yang merupakan krisis dunia dewasa ini adalah mengenai pelestarian
alam.
Ada beberapa hal yang mengemuka pada pembandingan
ketiga versi teks BSa di atas Dari segi ketepatan pemadanan ada aspek
linguistik, semantik, dan pragmatik.
Dari aspek pemadanan linguistik (struktur
gramatikal), ketiga versi BSa menunjukkan kadar ketepatan yang berbeda dalam
menyatakan kembali makna yang terkandung dalam teks BSu. Ketiganya sudah
melalui prosedur tansposisi, misalnya yang menyangkut frase nominal pada
struktur focal point of crises. Dalam
hal ini, teks (b) mengupayakan pemadanan yang lebih baik daripada teks (a) dan
(c), sekalipun terdapat penambahan kata keterangan “sebetulnya” pada teks (b)
tersebut.
Demikian juga, terdapat perbedaan prosedur
transposisi yang mendasar pada teks (c) : kata world sebagai bagian dari frase in
the .... world menjadi frase
nominal yang disatukan dengan kata crises,
seolah-olah teks aslinya berbunyi world
crises. Dalam pemilihan prosedur modulasi bebas juga ada perbedaan antara
ketiganya, misalnya frase/klausa “di dunia” dan “yang ditemukan di dunia”.
Dari aspek padanan semantik, ada penyimpangan yang
sangat mendasar pada teks (c). Frase “pelestarian alam” menunjukkan distorsi
makna referensial yang serius. Pada tataran kalimat dan analisis sekilas,
seolah-olah kata nature dapat
dipadankan dengan “alam”. Padahal pada tataran teks (periksa kalimat lanjutan
dalam kurung), topik yang dibicarakan menyangkut krisis politik, krisis
regional, dan bukan tentang pelestarian alam. Jadi, penerjemah (c) tidak mampu
melihat pentingnya saling hubungan kalimat dan tataran teks dalam penerjemahan
tersebut.
Dalam hal ini, penerjemah (c) tidak mempertimbangkan
bahwa padanan semantik (dan linguistik) tidak bisa dilepaskan dari pertimbangan
pragmatik, yang diantaranya adalah tujuan atau maksud penulisan. Maka, aspek
pragmatik merupakan aspek penerjemahan yang menghubungkan seorang penerjemah
dengan faktor-faktor konteks diluar teks. Hal ini akan dijelaskan lebih lanjut
pada aspek pemadanan tujuan di bawah.
Aspek lain yang tampak pada pembandingan ketiga teks
BSa tersebut adalah gaya bahasa penyampaian. Dapat dilihat pada teks BSu bahwa
penyampai berita mempergunakan gaya “bertenaga”. Gaya ini tampak dari
penggunaan kata-kata “bertenaga” seperti focal,
long-standing, crises.
Apabila ketiganya dibandingkan dari segi gaya,
penerjemah teks (a) berupaya mereproduksi gaya bertenaga tersebut, misalnya
dengan menggunakan kata-kata amat penting, kronis. Pada teks (b), kata-kata
berbeban makna konotatif untuk menunjukkan gaya tersebut tampaknya tidak
terlalu dipermasalahkan oleh penerjemah. Maka, gaya bahasa pada teks (b)
menjadi gaya biasa yang netral, seperti dalam penyampaian fakta, tidak terasa
sebagai teks tentang politik yang berfungsi vokatif. Demikian juga dengan gaya
pada teks (c).
Sejauh ini tidak ada penyimpangan makna yang serius
antara teks (a) dan (b), sehingga keduanya merupakan terjemahan yang diterima,
sekalipun ada perbedaan dalam totalitas upaya pemadanan. Secara relatif, dalam
suatu skala atau kontinuum, teks (a) lebih baik dalam segi ketepatan reproduksi
daripada (b), karena penerjemah teks (a) mengupayakan pertimbangan gaya
disamping pertimbangan lainnya.
Namun, tidaklah demikian halnya dengan teks (c).
Teks (c) tidak dapat dianggap sebagai terjemahan, karena mengandung distorsi
makna referensial. Padanan makna referensial harus menjadi syarat minimal
diterima-tidaknya suatu versi BSa sebagai terjemahan teks BSu, karena aspek
inilah yang menjadi perwujudan isi pesan dan maksud pengarang. Maka aspek makna
referensial adalah alat ukur absolut mendahului pengukuran lain : terjemahan
dianggap salah apabila mengandung distorsi makna referensial (tidak sekadar
dianggap sebagai sebagai “terjemahan buruk”).
Teks BSa juga dapat dinilai dari segi siapa yang
menilai. Apakah penilai itu klien/konsumen, previsisi, khalayak pembaca, dsb.
Umumnya, suatu terjemahan dinilai dari segi wajar-tidaknya dan kaku-tidaknya
suatu penyampaian dalam BSa. Namun, perlu diingat bahwa para penilai tidak
dapat menilai terjemahan hanya dari segi kewajaran tanpa membandingkannya
dengan teks BSu.
Hal yang termasuk penting dalam segi kewajaran
ungkapan adalah idiom. Oleh karena sistem setiap bahasa berbeda-beda, maka
ungkapan idiomatik juga berbeda. Prosedur transposisi dan modulasi adalah upaya
pemadanan idiomatik tersebut, untuk menghindari ungkapan yang kaku dan kurang
alami.
Segi yang juga tak kalah pentingnya dalam penilaian
penerjemahan adalah peristilahan, yaitu jelas-tidaknya, baku-tidaknya. Sebagai
contoh adalah istilah Non-Aligned
Movement (NAM), yang secara umum sudah dimengerti dengan jelas apabila
diterjemahkan menjadi Gerakan Nonblok (GNB). Apabila ini tidak diperhatikan,
istilah yang tidak baku atau tidak umum dapat mengganggu pemahaman teks BSa,
misalnya apabila frase tersebut diterjemahkan menjadi Gerakan yang tidak beraliansi.
Segi lain yang dekat dengan peristilahan adalah segi
“ejaan”. Kekeliruan dalam ejaan juga dapat mengganggu pemahaman, misalnya versi
BSa yang seharusnya I give my love a kiss
menjadi I give my love a kick.
Hal yang lebih penting lagi dari semua segi yang
dibahas disini adalah segi pemadanan tujuan atau maksud suatu teks. Misalnya,
suatu teks BSu yang bertujuan menyampaikan propaganda tidak dapat diterjemahkan
menjadi teks cerita.
2.2. Kriteria
penilaian umum yang digunakan dalam penerjemahan.
Suatu penilaian harus mengikuti prinsip validitas
dan reliabilitas. Validitas penilaian dapat dipandang dari aspek content validity dan face validity. Alasannya adalah karena
menilai terjemahan berarti melihat aspek isi (content) dan sekaligus juga aspek-aspek yang menyangkut
“keterbacaan” seperti ejaan (face),
sekalipun ejaan itu sendiri juga berkaitan dengan segi makna. Dengan
mendasarkan pada dua jenis validity
ini, diharapkan aspek reliabilitas akan dapat dicapai melalui kriteria dan cara
penilaian yang dipaparkan berikut ini.
Sebelum menentukan kriteria penilaian, terlebih
dahulu harus diingat kriteria dasar yang menjadi pembatas antara terjemahan
yang salah (tidak berterima) dan terjemahan yang berterima. Maka kriteria
pertama adalah : Tidak boleh ada penyimpangan makna referensial yang menyangkut
maksud penulis asli. Sesudah melewati saringan pertama ini, barulah kriteria
lain dapat dipertimbangkan atau diberlakukan.
Kriteria lain menyangkut segi-segi yang sudah
dibahas sebelumnya. Kriteria ini dapat dipandang melalui cara positif dan
negatif. Misalnya, apabila segi kewajaran dinilai secara negatif, maka
maksudnya adalah “tidak wajar” alias kaku. Dalam hal ini, seorang penilai harus
konsisten, dalam arti bahwa apabila suatu segi dipilih cara negatif, maka
keseluruhan segi harus diperlakukan dengan cara yang sama.
Konsistensi ini penting agar memudahkan penggolongan
pada waktu kriteria tersebut “diterjemahkan” menjadi petunjuk praktis dalam
bentuk indikator. Indikator tersebut dimaksudkan sebagai rambu-rambu untuk
memudahkan cara penilaian.
Disamping itu, kriteria dengan cara negatif ataupun
positif itu dilihat lebih jauh dari segi total-tidaknya kemunculannya dalam
teks Bsa. Misalnya, apabila ungkapan yang harfiah (dalam arti yang kaku) itu
hanya dijumpai dalam beberapa kalimat, maka kita menyebutnya “kekakuan lokal
atau harfiah lokal” atau “ada terjemahan harfiah yang kaku”. Lebih jauh lagi,
“kelokalan” itu dapat dihitung secara umum menurut persentase dalam
perbandingannya dengan jumlah kalimat keseluruhan teks. Misalnya, apabila
kalimat/ungkapan yang kaku tersebut menyangkut lima kalimat dari seluruh teks
yang berjumlah 20 kalimat, maka “lokal” di sini berarti 25% dari keseluruhan
teks.
2.3. Bagaimana
cara menilai suatu terjemahan secara umum.
Cara penilaian dalam suatu terjemahan terbagi
menjadi cara umum dan cara khusus. Cara umum adalah yang secara relatif dapat
diterapkan pada segala jenis terjemahan. Kriteria yang sudah ditetapkan sebelumnya
dapat diterapkan pada suatu skala penilaian umum kompetensi. Penting untuk
diingat bahwa dalam penggolongan, kita berawal dari asumsi berikut. Disamping
itu, penting juga untuk diingat bahwa rambu-rambu berikut adalah pedoman, bukan
“harga mati”.
a. Tidak
ada penerjemahan sempurna.
Hal
ini berarti bahwa dalam teks Bsa itu sedikit pun tidak ada kehilangan
informasi, pergeseran makna, transposisi, ataupun modulasi. Dengan kata lain,
tidak ada complete congruence atau
keruntutan sempurna dalam penerjemahan. Maka, penerjemahan yang “paling bagus”
harus diartikan sebagai “hampir sempurna”.
b. Penerjemahan
semantik dan komunikatif adalah reproduksi pesan yang umum, wajar, dan alami
dalam BSa.
c. Penilaian
penerjemahan adalah penilaian umum dan relatif.
Penilaian
dapat dilakukan melalui tiga tahap, yaitu :
Tahap Pertama : Penilaian fungsional,
yakni kesan umum untuk melihat apakah tujuan
umum
penulisan menyimpang. Apabila tidak, penilaian dapat berlanjut ke tahap kedua
dan ketiga.
Tahap Kedua : Penilaian
terinci berdasarkan segi-segi dan kriteria yang sudah
dibahas sebelumnya.
Tahap Ketiga : Penilaian
terperinci dalam tahap kedua tersebut digolong-golongkan
dalam suatu skalar kontinuum dan dapat
diubah menjadi nilai.
Kategori terjemahan dapat “dikonversikan” menjadi
rentangan nilai yang didasarkan pada prinsip piramida, semakin baik suatu
kategori (yaitu semakin ke atas arahnya), semakin kecil rentangan
angka/nilainya.
Hal
lain yang perlu diingat adalah perbedaan istilah “salah” dan “keliru”. Suatu
kesalahan adalah kategori yang jelas letaknya dalam oposisi “benar-salah”,
misalnya “kesalahan ejaan”. Sebaliknya, kata “keliru” tidak ada oposisi
lansungnya karena istilah tersebut dimaksudkan disini agar dapat mencakup
kriteria penilaian untuk “ketidakjelasan”, “ketidakwajaran”, “ketidakbakuan”
(apabila yang baku sudah tersedia, misalnya dalam kamus).
Bab 3 : Penutup
3.1. Kesimpulan
Dalam penilaian
terjemahan, yang dinilai adalah produk, bukan proses. Dalam penilaian ini,
terdapat segi dan aspek yang dinilai serta kriteria yang digunakan untuk
menilai hasil terjemahan. Diajukan juga cara menilai hasil terjemahan, yakni
indikator tertentu untuk menentukan baik tidaknya suatu terjemahan, dengan
rentangan ‘terjemahan hampir sempurna’ sampai ‘terjemahan buruk’. Garis
pembatas antara terjemahan yang baik dan yang buruk, yang benar dan yang salah
ditentukan berdasarkan ada-tidaknya serta seberapa besar penyimpangan makna
referensial yang terjadi.
3.2. Saran
Ada yang
berpendapat bahwa suatu karya yang sudah dipublikasikan oleh seorang penulis
menjadi “milik” masyarakat dan terserah kepada masyarakat akan diapakan karya
tersebut. Namun, tak kurang juga yang berkeberatan apabila tujuan asal penulis
diubah dalam terjemahannya. Anton Checkov, misalnya, keberatan sekali sewaktu
mengetahui bahwa karyanya Cherry Orchard diterjemahkan menjadi tragedi. Menurut
pengarangnya, karangan tersebut bermaksud menceritakan suatu komedi.
Maka, sebagai
prinsip dasar perlu diingat bahwa karya terjemahan adalah karya yang bersifat
“rekreatif”, yang menyampaikan kembali (recreate)
maksud dan tulisan orang lain dalam bahasa lain. Jadi, seorang penerjemah tidak
dapat bersikap seolah-olah karangan itu adalah karya “kreatif” atau penciptaan
tangan pertama, sehingga berhak mengubah maksud penulis aslinya.
Oleh karena itu,
seorang penerjemah seyogyanya mengupayakan sejauh mungkin dan setepat-tepatnya
maksud penulis teks asli. Dengan kata lain, seorang penerjemah harus netral,
tanpa mengupayakan perubahan maksud, baik atau kehendaknya sendiri ataupun
permintaan orang lain (mungkin konsumennya).
Daftar Pustaka
Rochayah Machali. 2000. Pedoman bagi Penerjemah. Jakarta : Grasindo.
M. Rudolf Nababan. 2003. Teori Menerjemah Bahasa Inggris. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Curiculum Vitae Penulis
Nama : Mutiara Pratama Putri
Tempat, Tanggal Lahir : Surakarta,
28 Agustus 1997
Alamat : Jl. Glagahsari Umbulharjo IV Tegal
Catak 651b RW. 06
RT. 26,
Yogyakarta
Alamat Asal : JL. RE. Martadinata No. 34 RT/RW 002/002,
Kelurahan
Ketapang,
Kecamatan Pangkal Balam, Kota Pangkal
Pinang, Provinsi
Kepulauan Bangka Belitung
Nomor Telepon : .....
Email : putrimutiarapratamaputri@yahoo.co.id
Riwayat Pendidikan : TK Islam Permatasari Semarang
SD
Depati Amir Pangkalpinang
SMP
Negeri 2 Pangkalpinang
SMA Negeri 1
Pangkalpinang
Motto : Lakukan yang terbaik dan bersyukur
atas hasilnya
Comments
Post a Comment