"Hidup adalah Pilihan"

Setiap manusia dalam menjalani kehidupannya lantas tak luput dari berbagai masalah yang ada. Masalah tersebut tentu sesuai dengan pilihan yang kita pilih sebelumnya. Jika pilihan yang kita ambil sesuai dengan apa yang kita inginkan, sesuai dengan pilihan hati nurani kita, tentu masalah sebesar apa pun yang timbul nantinya pasti dapat kita atasi sesuai dengan senantiasa tawakal kepada Allah swt. Karena sesungguhnya sesuatu yang telah dihadapkan kepada kita tentulah baik karena Allah swt. tau yang terbaik bagi umatnya.

Semenjak lahir ke dunia pun setiap manusia pasti telah dihadapkan oleh berbagai pilihan yang harus ia hadapi dalam hidupnya. Bahkan jika sedari lahir seorang bayi telah dapat berbicara, kemungkinan besar hal pertama yang diperintahkan Allah swt. untuk dia pilih adalah persoalan kepercayaan yang akan ia percayai.

Pernah mendengar kutipan "Hidup adalah pilihan"? Setelah menjalani tahun ke 19 dalam hidup, saya mulai merasakan makna yang terkandung di dalam kutipan tersebut.


Flashback ke 1 tahun yang lalu...
Setelah menuntut mendalami ilmu beberapa tahun, tibalah saatnya saya memasuki dunia SMA yang sering diagungkan orang sebagai "masa paling indah". Ya, hati memang tak bisa berdusta. Memang sifat "kegatelan" ingin melirik bahkan menggaet lawan jenis pun memasuki fase puncaknya pada masa itu. Mulai dari cowok ganteng dan pintar, lalu cowok (lumayan) ganteng dan alay, hingga cowok ganteng dan bandel pun sudah pernah dijadikan sasaran empuk untuk dijadikan target sang pujaan hati oleh cewek-cewek yang baru puber. Tidak harus cowok ganteng sih, yang sedikit di bawah level standarnya cogan juga tak luput menjadi target. Ya jodoh memang sudah diatur Allah (walaupun harus melewati berbagai proses : ke-tikung, ke-kurangan poin untuk kriteria standar ceweknya cogan, dan berbagai macam "ke-" lainnya ๐Ÿ˜‚๐Ÿ˜ข).

Masa-masa kegenitan tersebut biasanya terjadi di tahun awal dan tahun kedua. Ya wajar saja, pikiran tentang kehidupan pasca SMA belum sempat terlintas di otak bagian mana pun. Apalagi mereka yang pergi ke sekolah hanya dengan bermodalkan setumpukan alat untuk mempercantik diri, bukan setumpukan alat untuk memperdalam ilmu didalam diri. Kebanyakan dari mereka lebih memilih menebalkan bibir merah dengan lipstik ketimbang menebalkan tulisan mereka dengan menggunakan pena. Ntah mengapa, hanya mereka dan Allah yang tahu ๐Ÿ˜ด

Anak-anak korban kepubertasan tersebut biasanya barulah tersadarkan jiwanya ketika mereka menginjak tahun ketiga di SMA, tahun yang penuh dengan kesibukan. Mungkin sebagian dari mereka masih sibuk bergenit ria dengan lawan jenis mereka (atau bahkan sesama jenis?), tak terpikirkan betapa susahnya kedua manusia super (orangtua) mereka dirumah beradu dengan peluh demi mengumpulkan pundi-pundi berkilauan untuk membiayai sekolah bahkan kehidupan mereka. Nauzubillahiminzalik~

Beruntung bagi mereka yang sudah sadar dan move on dari masa yang (agak) kelam tersebut (termasuk saya hihi ๐Ÿ˜ญ). Seperti lagu Iwan Fals "Rasa sesal di dasar hati, diam tak mau pergi. Haruskah aku lari dari kenyataan ini...". Tak dipungkiri pasti timbul rasa sesal di dasar hati ketika usaha yang dilakukan selama ini dirasa tak cukup padahal kenyataan kehidupan pasca SMA sudah menunggu di depan mata. Berbagai macam pikiran mulai bertarung di dalam otak maupun hati. Ntah itu pikiran bagaimana caranya menghadapi kehidupan setelah mendalami ilmu di SMA, bahkan yang paling parah mungkin bagaimana caranya mengakhiri kehidupan setelah mendalami ilmu di SMA (saking stresnya :( ).

Kehidupan yang penuh keruwetan mungkin memang dimulai ketika kita sudah menginjak pintu dunia tahun ketiga SMA. Masa yang paling sibuk juga karena harus menghadapi berbagai ujian agar bisa melanjutkan ke tingkat selanjutnya. Bagi saya sendiri, puncaknya adalah ketika harus memilih lembaga pendidikan tinggi mana yang akan dituju kelak. Belajar mati-matian disertai berbagai macam les pun dijalani.

Hingga kemudian tibalah masa paling menegangkan tersebut. Masa yang memang mencerminkan kutipan "Hidup adalah pilihan" yang saya katakan di bagian awal tulisan ini.

Dengan menggenggam berbagai macam impian dan tak luput pula dengan berbagai macam back up choices-nya, saya mulai mengikuti berbagai macam seleksi di berbagai lembaga pendidikan tinggi negeri maupun swasta. Seleksi mulai dari jalur tertulis hingga jalur raport pun sudah saya cicipi. Satu persatu hasil seleksi yang saya ikuti tersebut mulai bermunculan. Namun apa yang saya dapatkan? Berbagai rangkaian kata yang berbau "Maaf, coba lagi di lain waktu. Terima kasih telah mencoba". Namun hal tersebut tak seketika mematahkan tekad dan semangat saya untuk meraih impian saya. Saya tetap mengikuti berbagai macam seleksi hingga tahap akhir dimana para lembaga pendidikan tersebut mulai menutup pintu penerimaan mahasiswa baru mereka. Tak usah munafik, tentu saja rasa kecewa, kesal, sedih, galau, gundah ataupun bimbang berdatangan di jiwa ini. Ketakutan dimana saya tidak bisa mendalami ilmu di jenjang kuliah seperti teman2 yang lain pun singgah.
Tapi ternyata takdir berkata lain. Saya diterima di sebuah lembaga pendidikan tinggi swasta di Yogyakarta di program studi yang cukup membuat saya tertarik. Namun tentu saja rasa wow yang didapat tak se-wow jika diterima di lembaga pendidikan tinggi negeri. Apalagi program studi yang saya dapatkan tersebut bukanlah salah satu dari main choices yang sudah saya tetapkan sebelumnya. Apa boleh buat, saya hanya bisa pasrah dan meyakinkan diri saya terhadap pilihan yang sudah ditunjukkan oleh Allah ini.

Hari sebagai mahasiswa dalam program studi yang saya pilih tersebut pun dimulai. Di awal-awal perkuliahan, efek galau tentu terasa dikarenakan beberapa teman saya yang memiliki main choice yang sama seperti saya justru berhasil menggapainya. Saya tetap meyakinkan bahwa pilihan yang sudah saya ambil ini mungkin memang pilihan terbaik yang sudah dipilih oleh Allah swt. untuk saya hingga berat yang dirasakan di awal kuliah pun perlahan menghilang dan diganti dengan rasa ringan.
Namun tentu saja hidup tak selamanya berjalan mulus sesuai yang kita harapkan. Berbagai kesulitan yang diiringi dengan berbagai pikiran negatif pun mulai timbul. Beberapa bulan terakhir, euforia yang saya rasakan menjelang petualangan mencari lembaga pendidikan tinggi tahun lalu pun mulai hadir kembali. Rasa pesimis yang saya rasakan pada masa tersebut juga mengikuti.

"Apakah saya bisa sukses jika mendalami ilmu di lembaga pendidikan tinggi swasta?", "Bagaimana jika lulusan yang berasal dari lembaga pendidikan tinggi negeri lebih didahulukan dibanding lulusan yang berasal dari lembaga pendidikan tinggi swasta?", dll.

Beberapa pertanyaan tersebut mulai terkuatkan oleh beberapa pandangan sejuk didepan mata. Teman-teman saya yang gagal di tahun sebelumnya seperti saya justru mendapatkan buah yang manis di tahun ini. Lagu Iwan Fals pun terlantunkan kembali. Sesal, mengapa saya tidak bertindak seperti mereka yang kembali mencoba untuk mengail peruntungan mereka di tahun ini.

Pada malam ramadhan ke 24, ketika saya mengikuti shalat tarawih di masjid, seorang ibu mencoba membangun percakapan dengan saya. Setelah beberapa menit berbasa-basi, percakapan sudah masuk ke topik serius -menurut saya (karena menyangkut masalah di dunia perkuliahan saya ๐Ÿ˜ข). Salah satu perkataan beliau yang menurut saya paling menusuk dan menyakiti hati saya adalah ketika Ia menanyakan pasal nilai ujian nasional yang saya dapatkan ketika SMA. Ia bertanya berapa nilai ujian nasional yang saya dapatkan ketika saya mendalami ilmu di SMA. Saya hanya bisa nyengir sembari menjawab bahwa saya lupa berapa nilai yang saya dapatkan tersebut. Dengan pedenya beliau justru berkata dengan senyuman sinis bahwa nilai ujian nasional yang saya dapatkan pasti KECIL karena saya hanya bisa melanjutkan kuliah di lembaga pendidikan tinggi swasta. Dengan sedikit rasa tersinggung (namun tetap saya sembunyikan), saya hanya bisa mengulangi jawaban saya yang sebelumnya diiringi dengan perkataan bahwa saya mengambil program studi yang sangat berat yaitu program studi kedokteran yang mungkin menyebabkan saya tidak bisa melanjutkan pendidikan saya di lembaga pendidikan tinggi negeri. Namun memang pada awal percakapan pun sebenarnya sudah terlihat bahwa ibu tersebut agak sedikit terganggu pendengarannya, jadi beberapa rangkaian kalimat yang saya katakan tersebut terlihat sangat useless. Memang sebenarnya saya sudah mengira apakah pendengarannya agak terganggu karena dari awal percakapan pun beliau tidak connect dengan nama lembaga pendidikan tinggi saya sekarang. Merasa percakapan tersebut sudah mulai memasuki fase menyebalkan karena juga didukung oleh perilaku ibu tersebut yang mengagungkan anaknya yang katanya merupakan lulusan kedokteran di suatu lembaga pendidikan tinggi negeri paling terkemuka di Jogja, saya hanya bisa menjawabnya dengan sebuah senyuman termanis yang saya miliki walaupun tidak semanis dengan rasa dongkol yang timbul di hati.

Setibanya dirumah, saya pun mulai menjernihkan hati dengan berbagai masukan positif yang satu persatu muncul dari orangtua dan teman-teman saya yang intinya adalah nama dari sebuah lembaga pendidikan tinggi tidak akan berpengaruh di masa depan nanti khususnya ketika kita berpetualang di dunia kerja. Yang terpenting adalah bagaimana kinerja yang kita perlihatkan nantinya. Tidak perlu meyakinkan orang-orang bagaimana usaha yang telah kau tempuh selama ini, berapa banyak kesulitan yang kau berhasil kau hadapi hingga kau menjadi dirimu yang sekarang. Hidupmu sekarang terdiri dari berbagai macam pilihan yang kau ambil di masa lalu. Bahkan pilihan terburuk yang pernah kau ambil pun pasti memberikan berbagai macam dampak yang positif juga dibaliknya. Jalani dan yakini saja bahwa pilihan yang sudah kau pilih hingga membawa ke kehidupanmu yang sekarang merupakan pilihan terbaik yang sudah kau ambil dan sudah Allah swt. pilih untukmu. Semua yang diberikan Allah swt. baik itu sesuatu yang baik ataupun yang buruk pasti ada hikmahnya masing-masing.


Ya. Beberapa rangkai kata tersebutlah yang menguatkanku sekarang. Saya pun yang awalnya berhasil dibuat baper oleh perkataan seorang ibu yang aku temui ketika melaksanakan shalat tarawih sebelumnya, kini pun hanya saya anggap sebagai angin lalu. Yang harus saya fokuskan sekarang adalah tindakan untuk selalu berikhtiar diiringi dengan tawakal kepada Allah swt.

Comments

Popular posts from this blog

Contoh Dari 10 Konsep Geografi

Foto-foto imut+lucu member SUPER JUNIOR !!

Sejarah Lahirnya (Perkembangan) Sosiologi di Eropa dan Indonesia.

Kamus Bahasa Korea

Naskah Drama (4 Perempuan, 2 Laki-Laki)